Tampilkan postingan dengan label Inspirasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Inspirasi. Tampilkan semua postingan

heri chandra santoso
"Heri Chandra Santoso menerima Penghargaan Gerakan Budaya Gemar Membaca tingkat Provinsi Jawa Tengah tahun 2025" Sumber IG @herichandrasantosa

Di tengah anggapan umum bahwa denyut literasi dan sastra hanya berdetak kencang di pusat kota, di mana gedung-gedung tinggi menjulang dan pusat kebudayaan ramai, muncul sebuah kisah inspiratif dari kaki Pegunungan Medini di Jawa Tengah. Tepatnya di Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, seorang pria bernama Heri Chandra Santoso telah membuktikan sebaliknya. Dengan keteguhan hati dan niat yang tak pernah padam, ia menyalakan obor sastra di tengah sunyinya pedesaan, mengubah pandangan bahwa keindahan kata hanyalah milik kaum urban.

Langkahnya bukan sekadar mendirikan komunitas, melainkan membangunkan kesadaran, merangkul generasi muda, dan menebar dampak positif yang kini gaungnya terdengar hingga ke panggung nasional. Kisah Komunitas Lereng Medini (KLM) yang diinisiasi Heri adalah sebuah manifesto bahwa literasi sejati tumbuh subur di mana pun ada kemauan, bahkan di antara sawah dan aroma kopi Kendal yang sejuk.

Memulai dari Senyap: Gerakan Sastra yang Mematahkan Sekat Geografis

Lebih dari satu dekade yang lalu, pada saat koneksi internet belum semasif hari ini dan akses buku berkualitas masih menjadi barang mewah di daerah, Heri Chandra Santoso sudah meresahkan sebuah jurang yang terlalu dalam: kesenjangan literasi antara kota dan desa. Ia melihat potensi besar pada anak-anak muda di Boja, namun terkendala minimnya sarana untuk mengeksplorasi dunia sastra dan budaya secara mendalam.

Sastra, baginya, bukanlah sekadar mata pelajaran di sekolah, melainkan sebuah alat penting untuk memahami kehidupan, mengasah empati, dan menemukan jati diri. Mitos bahwa sastra hanya eksklusif bagi masyarakat kota atau para akademisi di kampus-kampus besar harus segera dipatahkan.

Heri, yang lahir di Kendal pada 22 Mei 1982, merupakan sosok yang memahami betul perpaduan antara kerealitasan jurnalistik dan keindahan esensial sastra. Sebagai alumnus Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang sekaligus seorang jurnalis, ia memiliki bekal ilmu yang mumpuni. Ia menyadari bahwa kekayaan kata dan cerita harus dibumikan, tidak boleh hanya tersimpan di perpustakaan-perpustakaan megah di ibu kota provinsi.

Titik Nol: Kelahiran 'Pondok Maos' di Desa Bebengan

Sebelum Komunitas Lereng Medini resmi berdiri, Heri Chandra Santoso dan sahabat karibnya, Sigit Susanto, seorang pegiat kesusastraan asal Boja yang kini menetap di Swiss, memulai dengan langkah paling fundamental: menyediakan bacaan. Pada tahun 2006, lahirlah Pondok Maos, sebuah perpustakaan gratis yang memanfaatkan rumah Sigit di Jalan Raya Bebengan 221, Desa Bebengan, Boja.

Pondok Maos bukanlah perpustakaan pada umumnya. Ia merupakan jantung yang memompa darah pertama bagi gerakan literasi di desa itu. Rak-rak sederhananya dipenuhi koleksi buku sastra yang mayoritas didapat dari donasi pribadi, mencakup karya-karya sastrawan Indonesia ternama hingga literatur asing. Di ruangan inilah, anak-anak desa Bebengan, dari mulai pelajar SD hingga mahasiswa, untuk pertama kalinya diperkenalkan pada sosok Pramoedya Ananta Toer, larik-larik Chairil Anwar, dan metafora puitis Sapardi Djoko Damono.

“Sebelum belajar sastra, kita perkenalkan mereka dengan bacaan,” ujar Heri. Prinsip ini menjadi fondasi filosofis komunitasnya. Sastra hanya akan dicintai jika akrab di mata dan hati, dan keakraban itu hanya bisa dimulai dari buku yang terjangkau. Pondok Maos tidak hanya menjadi tempat membaca, tetapi juga ruang diskusi informal, tempat di mana ide-ide segar mulai bersemi, dan benih-benih kecintaan pada literasi mulai ditaburkan.

Komunitas Lereng Medini (KLM): Wadah Kreativitas yang Berakar Kuat

Dari obrolan santai di Pondok Maos bersama Sigit dan Nurhadi mengenai perlunya sebuah wadah resmi untuk berbagi ide dan mengembangkan minat sastra, lahirlah Komunitas Lereng Medini (KLM) pada tahun 2008. Penamaan ini memiliki makna mendalam. Medini adalah nama pegunungan yang mengelilingi kawasan Boja, melambangkan keteguhan, kedalaman, dan akar yang kuat di tanah kelahiran. Ini adalah penegasan bahwa sastra dari desa tidak kalah berharga dari sastra kota. KLM didirikan dengan tujuan utama: memberikan ruang bagi pelajar desa untuk belajar sastra dan budaya secara gratis dan terstruktur.

Program Inovatif KLM yang Melampaui Sekadar Membaca

Komitmen Heri dan rekan-rekannya di KLM tidak berhenti pada penyediaan buku. Mereka merancang kurikulum belajar yang adaptif dan inovatif, disesuaikan dengan kebutuhan serta konteks budaya setempat. Kegiatan KLM dirancang untuk menjadi menyenangkan dan berkesan, jauh dari kesan kaku atau formalistik. Beberapa program unggulan yang secara rutin digelar dan telah menjadi ciri khas KLM meliputi:

  1. Reading Group (Kelab Baca): Ini adalah agenda rutin yang diadakan setiap Sabtu sore atau Minggu pagi. Pesertanya sangat beragam, mulai dari pelajar SD, SMP, SMA, hingga mahasiswa dan masyarakat umum, termasuk para petani dan peternak yang ingin menambah wawasan. Aktivitas utamanya adalah membedah buku yang telah disepakati bersama, melatih kemampuan analisis dan komunikasi verbal anggotanya. Uniknya, KLM juga mendorong pembentukan kelompok baca mandiri agar peserta dapat mendalami bacaan sesuai minat mereka.
  2. Kajian Sastra dan Budaya: Kegiatan ini mencakup bedah karya sastra, pelatihan penulisan kreatif, seminar jurnalistik, hingga musikalisasi puisi. Mereka kerap mengundang sastrawan, budayawan, dan jurnalis profesional untuk berbagi ilmu, memastikan materi yang disampaikan selalu relevan dan mendalam.
  3. Pentas Teater dan Seni Budaya: KLM memberikan panggung bagi anggotanya untuk berlatih dalam pertunjukan teater dan seni budaya lainnya, seperti pentas kreasi anak-anak dari Teater Sanggarhati. Ini merupakan langkah nyata untuk mengimplementasikan ilmu sastra yang telah mereka pelajari ke dalam bentuk seni pertunjukan.
  4. Parade Obrolan Sastra: Sebagai acara tahunan, Parade Obrolan Sastra menjadi ajang pertemuan para pegiat sastra. Bahkan, acara ini sering kali mengundang sastrawan terkemuka nasional, seperti Martin Aleida atau D. Zawawi Imron, untuk datang dan berdiskusi langsung dengan masyarakat dan pelajar di Kendal. Hal ini benar-benar memecahkan stigma bahwa sastra tingkat tinggi hanya bisa dinikmati di pusat metropolitan.
  5. Apresiasi Karya Lokal: Kendal Novel Award (KNA): Salah satu gebrakan terbesar KLM adalah penyelenggaraan Kendal Novel Award (KNA) yang dimulai pada tahun 2022. KNA dirancang sebagai ajang penghargaan dan motivasi bagi para penulis lokal di Kendal. Yang membuat acara ini unik dan sangat berakar pada kearifan lokal adalah bentuk hadiahnya yang tidak biasa, berupa hewan ternak seperti kambing peranakan Etawa, kelinci, ayam, atau bebek. Pemberian hadiah yang unik ini menegaskan bahwa karya sastra memiliki nilai yang setara dengan aset berharga masyarakat desa.
  6. Sastra di Ruang Publik: KLM juga memiliki program inovatif yang membawa sastra keluar dari ruang kelas, seperti Jemuran Puisi (pameran puisi di jalanan) dan Sastra Sepeda, yang bertujuan untuk mendesakralisasi sastra dan membawanya langsung ke tengah masyarakat. Terbaru, mereka menggelar “Berpuisi di Medini” di Kebun Teh Medini, sebagai ikhtiar mendekatkan aktivitas sastra dengan alam dan napak tilas penyair legendaris Iman Budhi Santosa.

Kelas Membaca di KLM
"Reading Group di KLM" Sumber IG @klmboja

Tantangan Abadi dan Optimisme yang Membara

Mengawal gerakan literasi selama lebih dari 15 tahun di daerah pedesaan bukanlah pekerjaan yang bebas hambatan. Heri Chandra Santoso dan para relawan KLM dihadapkan pada tantangan yang sifatnya struktural dan kultural.

  • Pertama, tantangan akses dan fasilitas. Meskipun Pondok Maos telah berdiri, koleksi buku bermutu masih sangat bergantung pada donasi. Sarana prasarana yang terbatas seringkali menjadi kendala dalam menggelar acara besar. Heri menyadari betul bahwa ini adalah perjuangan jangka panjang.
  • Kedua, keterbatasan regenerasi dan konsistensi relawan. Menjaga semangat pengabdian tanpa pamrih agar terus menyala di tengah kesibukan personal relawan adalah tugas yang sangat berat. Komunitas harus terus berinovasi untuk menarik minat generasi baru agar tongkat estafet literasi ini tidak terputus.
  • Ketiga, gempuran teknologi dan budaya instan. Heri tidak menampik bahwa gawai (gadget) dan tontonan televisi yang masif menjadi pesaing terberat bagi buku. Generasi muda lebih mudah mengakses konten singkat dan cepat saji, membuat ketertarikan pada bacaan yang mendalam semakin menurun. 
Heri menyebutkan bahwa ia sadar posisi: sastra belum menjadi isu vital bagi masyarakat yang masih berjuang pada ‘revolusi mengisi perut’. Namun, kesadaran ini justru menumbuhkan optimisme.

Kunci Konsistensi: Filosofi Jurnalis dan Pegunungan

Sebagai seorang jurnalis, Heri mengajarkan bahwa setiap tulisan, setiap kegiatan, harus berdampak dan terdokumentasi. Jiwa jurnalisnya memastikan bahwa gerakan KLM selalu terorganisir, terstruktur, dan memiliki narasi yang kuat untuk disebarluaskan. Ia tidak ingin sastra menjadi menara gading yang terpisah dari realitas sosial, melainkan harus menjadi alat yang aktif dalam pemberdayaan masyarakat.

"Penghargaan itu bukan akhir perjalanan, tapi pengingat untuk terus bergerak," tegas Heri, merujuk pada Apresiasi SATU Indonesia Awards 2011 yang diterimanya dari Astra Indonesia, sebuah pengakuan nasional atas kontribusi sosialnya. Penghargaan tersebut justru menjadi bahan bakar untuk terus maju, alih-alih membuatnya terlena.

apresiasi satu indonesia award
Sumber Gamber IG @klmboja

Dampak Meluas: Dari "Desa Sastra" Hingga Panggung Nasional

Setelah bertahun-tahun berjuang, Komunitas Lereng Medini kini telah menorehkan jejak dampak yang nyata bagi Kabupaten Kendal dan dunia literasi Indonesia:

  • Peningkatan Budaya Baca dan Tulis: Ribuan pelajar desa di Boja dan sekitarnya kini telah gemar membaca dan mulai aktif dalam menulis puisi, cerpen, dan esai. Ini adalah transformasi kultural yang paling fundamental.
  • Meluaskan Jaringan Intelektual: Melalui acara-acara seperti Parade Obrolan Sastra, KLM telah menjembatani kesenjangan antara masyarakat desa dengan sastrawan dan intelektual nasional, menghadirkan diskusi berbobot yang dapat diakses secara gratis.
  • Lahirnya Penulis-Penulis Lokal: Beberapa anggota KLM berhasil menerbitkan karya mereka di berbagai media daring dan cetak, menandakan bahwa kualitas karya dari lereng Medini diakui secara luas.
  • Boja sebagai 'Desa Sastra': Berkat konsistensi KLM, Desa Bebengan, Boja kini dikenal sebagai “desa sastra” yang menginspirasi. Komunitas literasi lain di Kendal dan Jawa Tengah menjadikan KLM sebagai model pergerakan yang efektif dan berakar lokal.
  • Pengakuan Media Nasional: Kisah Heri dan KLM telah diulas oleh berbagai media nasional, termasuk liputan khusus dari Astra, menjadikannya bukti bahwa suara literasi dari desa kecil di Kendal kini menggema hingga ke tingkat nasional. Pengakuan ini mendorong semangat komunitas untuk terus bergerak.

Sinergi dan Kolaborasi: Strategi 'Satukan Gerak'

Heri Chandra Santoso menyadari bahwa ia tidak bisa sendirian. Strategi 'satukan gerak' menjadi kunci keberlanjutan KLM. Komunitas ini aktif berkolaborasi dengan banyak pihak: komunitas literasi lain (Teras Baca Boja, Bojabaca, Bukit Buku), penerbit lokal, hingga lembaga budaya seperti Lesbumi NU Kendal. Sinergi ini memungkinkan KLM menggelar acara skala besar, seperti Festival Kecil Tiga Sastrawan Besar yang memperingati tokoh-tokoh seperti Sitor Situmorang dan Franz Kafka, yang melibatkan banyak pihak dan generasi muda Kendal. Bahkan, KLM juga sempat berkolaborasi dengan instansi pemerintah, seperti dengan menggandeng Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) untuk beberapa kegiatan literasi mereka.

Melalui upaya kolaborasi ini, KLM memastikan bahwa sastra tidak hanya diajarkan di satu tempat, tetapi bergerak ke berbagai ruang publik, termasuk sekolah-sekolah dan kebun teh, menciptakan ekosistem literasi yang sehat dan inklusif. Mereka ingin menegaskan bahwa sastra adalah milik semua lapisan masyarakat, dari pelajar, jurnalis, hingga peternak.

Sastra: Lebih dari Sekadar Kata, Ia Adalah Jalan Hidup

Di mata Heri Chandra Santoso, dedikasinya terhadap sastra adalah cerminan dari keyakinan bahwa sastra adalah cara paling sederhana dan mendalam untuk memahami hidup. Sastra tidak hanya mengajarkan teknik menulis, tetapi juga menumbuhkan sensitivitas, kritisitas, dan jiwa yang humanis. Melalui puisi dan prosa, anak-anak desa diajarkan untuk menyuarakan pikiran dan perasaan mereka dengan elegan, mengubah keterbatasan menjadi sumber kekuatan, dan mengubah rasa sunyi menjadi kreativitas.

Komunitas Lereng Medini telah menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap arus kepasrahan pada keadaan. Komunitas ini membuktikan bahwa minimnya fasilitas dapat diatasi dengan kelebihan tekad dan kreativitas tanpa batas. Dari lereng pegunungan di Boja, Heri tidak hanya menciptakan karya, tetapi juga menciptakan ruang mimpi—tempat di mana setiap anak desa berhak memiliki akses setara terhadap dunia pengetahuan dan budaya. Warisan terbesar Heri bukanlah kumpulan buku yang ia kumpulkan, melainkan generasi pembaca baru yang kini berani bermimpi dan bersuara melalui kata-kata, menjaga nyala api literasi agar tak pernah redup.

Kesimpulan

Kisah perjuangan Heri Chandra Santoso dan Komunitas Lereng Medini (KLM) di Boja, Kendal, adalah epilog hidup yang menyentuh, sekaligus menjadi studi kasus penting dalam gerakan literasi di Indonesia. Ia membuktikan bahwa narasi sastra dan budaya tidak lagi menjadi monopoli orang kota, melainkan sebuah aset yang dapat dikembangkan secara luar biasa dari desa dengan sumber daya terbatas.

Berawal dari Pondok Maos pada tahun 2006 dan formalisasi menjadi KLM pada 2008, Heri, jurnalis sekaligus alumnus sastra, berhasil membangun ekosistem literasi inklusif yang berakar kuat pada kearifan lokal, ditandai dengan program inovatif seperti Kendal Novel Award dengan hadiah ternak.

Konsistensi, kolaborasi, dan semangat Heri yang tak pernah padam telah mengubah pandangan masyarakat tentang sastra dan melahirkan 'desa sastra' yang menginspirasi. Komunitas Lereng Medini adalah penanda bahwa perubahan sosial yang berdampak luas selalu dimulai dari satu niat tulus, satu buku, dan keberanian untuk menyuarakan kata dari tempat yang paling sunyi, menjadikan Kendal sebagai salah satu pusat literasi yang patut diperhitungkan di kancah nasional.

#APA2025-BLOGSPEDIA

Heri Chandra Santoso: Pemuda Lereng Medini yang Menghidupkan Sastra dari Pinggiran